BAB 2
2.1 Konsep
Fraktur Collum Femur
2.1.1 Pengertian
Fraktur atau
patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Syamsuhidayat. 2004: 840).
Fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (Brunner &
Suddarth. 2001 : 2357).
Fraktur collum femur adalah fraktur yang terjadi pada collum tulang femur.
2.1.2 Penyebab
1.
Trauma
langsung: benturan pada tulang mengakibatkan fraktur ditempat tersebut.
2.
Trauma tidak
langsung: tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari area
benturan.
3.
Fraktur
patologis: fraktur yang disebabkan trauma yamg minimal atau tanpa trauma.
Contoh fraktur patologis: Osteoporosis, penyakit metabolik, infeksi tulang dan
tumor tulang.
2.1.3 Lokasi Terjadinya Fraktur Femur
Fraktur femur dapat terjadi pada
beberapa tempat diantaranya:
1.
Kolum femoris
2.
Trokhanter
3.
Batang femur
4.
Suprakondiler
5.
Kondiler
6.
Kaput
2.1.4 Manifestasi Klinis
1.
Nyeri terus
menerus dan bertambah beratnya sampai tulang dimobilisasi.
2.
Deformitas
disebabkan karena pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai.
3.
Pemendekan
tulang terjadi karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat
fraktur.
4.
Krepus, teraba
akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
5.
Pembengkakan
lokal dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
gangguan sirkulasi yang mengikuti fraktur.
2.1.5 Klasifikasi Fraktur
1.
Fraktur komplit
adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami
pergeseran. (bergeser dari posisi normal).
2.
Fraktur tidak
komplit adalah patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
3.
Fraktur
tertutup tidak menyebabkan robeknya kulit.
4.
Fraktur terbuka
merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membrana mukosa sampai kepatahan
tulang, fraktur terbuka digradasi menjadi:
a.
Grade 1 dengan
luka bersih panjangnya kurang dari 1 cm
b.
Grade II luka
lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif
c.
Grade III luka
yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif,
merupakan yang paling berat
5.
Fraktur juga
digolongkan sesuai pergeseran anatomis fragmen tulang:
a.
Greenstick:
fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok
b.
Transversal:
fraktur sepanjang garis tengah tulang
c.
Obllik: fraktur
membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih tidak stabil dibanding
transversal)
d.
Spiral:
fraktur memuntir sepanjang batang tulang
e.
Komunitif:
fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
f.
Depresi: fraktur
dengan pragmen patahan terdorong kedalam (sering terjadi pada tulang tengkorak
dan tulang wajah)
g.
Kompresi:
fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
h.
Patologik:
fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, penyakit
paget, metastasis tulang, tumor)
i.
Avulsi:
tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo pada perlakatannya
j.
Epifiseal:
fraktur melalui epifisis
k.
Impaksi:
fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang yang lainnya.
2.1.6 Proses Penyembuhan tulang
1.
Fase hematoma:
Proses terjadinya hematoma dalam 24 jam. Apabila terjadi fraktur pada tulang
panunjang, maka pembuluh darah kecil yang melewati kanalikuli dalam sistem
haversian mengalami robekan pada daerah luka dan akan membentuk hematoma
diantar kedua sisi fraktur.
2.
Fase
proliferasi/ fibrosa: terjadi dalam waktu sekitar 5 hari. pada saat ini terjadi reaksi jaringan
lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi penyembuhan, karena adanya sel-sel
osteogenik yang berpoliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksternal
serta pada daerah endosteum membentuk kalus internal sebagai aktifitas seluler
dalam kanalis medularis.
3.
Fase
Pembentukkan Kalus: Waktu pembentukan kalus 3-4 minggu. Setelah pembentukan
jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel dasar yang berasal dari
osteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk tulang rawan.
4.
Fase Osifikasi:
Pembentukan halus mulai mengalami perulangan dalam 2-3 minggu, patah tulang
melalui proses penulangan endokondrol, mineral terus-menerus ditimbun sampai
tulang benar-benar telah bersatu dengan keras.
5.
Fase
Remodeling: Waktu pembentukan 4-6 bulan. Pada fase ini perlahan-lahan terjadi
reabsorbsi secara eosteoklastik dan tetap terjadi prosesosteoblastik pada
tulang dan kalus eksternal secara perlahan-lahan menghilang (Rasjad, 1998 : 400
).
2.1.7 Patofisiologi
(Sumber : Long,
C. Barbara. 1996. Perawatan Medikal Bedah)
2.1.8 Komplikasi
1.
Komplikasi awal
a.
Syok: Syok
hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan darah eksterna
maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan eksternal kejaringan yang
rusak.
b.
Sindrom emboli
lemak: Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh
darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau
karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilisasi
asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah.
c.
Sindrom
kompartemen: merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan
karena penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot
terlalu ketat, penggunaan gips atau balutan yang menjerat ataupun peningkatan
isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai
masalah (misal : iskemi, cidera remuk).
2. Komplikasi lambat
a.
Delayed union:
proses penyembuhan tulang yang berjalan dalam waktu yang lebih lama dari
perkiraan (tidak sembuh setelah 3-5 bulan)
b.
Non union: kegagalan
penyambungan tulang setelah 6-9 bulan.
c. Mal union: proses penyembuhan tulang berjalan normal terjadi dalam waktu
semestinya, namun tidak dengan bentuk aslinya atau abnormal.
2.1.9 Faktor yang mempercepat penyembuhan tulang
1.
Immobilisasi
fragmen tulang
2.
Kontak fragmen
tulang maksimal
3.
Asupan darah
yang memadai
4.
Nutrisi yang
baik
5.
Latihan
pembebanan berat badan untuk tulang panjang
6.
Hormon-hormon
pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D,
7.
Potensial
listrik pada patahan tulang
2.1.10 Faktor yang menghambat
penyembuhan tulang
1.
Trauma berulang
2.
Kehilangan
massa tulang
3.
Immobilisasi
yang tak memadai
4.
Rongga atau
jaringan diantar fragmen tulang
5.
Infeksi
6.
Radiasi tulang
(nekrosis tulang)
7.
Usia
8.
Kortikosteroid
(menghambat kecepatan perbaikan)
2.1.11 Pemeriksaan
Penunjang Diagnostik
1.
Pemeriksaan
rontgen: Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2.
Scan tulang,
tomogram, CT-scan/ MRI: Memperlihatkan frakur dan mengidentifikasikan kerusakan
jaringan lunak
3.
Pemeriksaan
darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (pendarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel), Peningkatan
Sel darah putih adalah respon stres normal setelah trauma.
4.
Kreatinin :
Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
2.1.12 Penatalaksanaan
medik
Empat prinsip penanganan fraktur
menurut Chaeruddin Rasjad tahun 1988adalah:
1.
Recognition:
mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinik dan
radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan: lokasi, bentuk fraktur,
menentukan teknnik yang sesuai untuk pengobatan, komplikasi yang mungkin
terjadi selama dan sesudah pengobatan.
2.
Reduction:
reduksi fraktur apabila perlu, restorasi fragment fraktur sehingga didapat
posisi yang dapat diterima. Pada fraktur intraartikuler diperlukan reduksi
anatomis dan sedapat mungkin mengembalikan fungsi normal dan mencegah
komplikasi seperti kekakuan, deformitas serta perubahan osteoartritis
dikemudian hari. Posisi yang baik adalah: alignment yang sempurna dan aposisi
yang sempurna. Fraktur yang tidak memerlukan reduksi seperti fraktur klavikula,
iga, fraktur impaksi dari humerus, angulasi <5>
3.
Retention,
immobilisasi fraktur: mempertahankan posisi reduksi dan memfasilitasi union
sehingga terjadi penyatuan, immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna meliputi pembalut gips, bidai, traksi, dan fiksasi interna meliputi
inplan logam seperti screw.
4.
Rehabilitation
: mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin.
2.2
Konsep
Bipolar Hemiarthroplasty
2.2.1
Definisi
Bipolar Hemiarthroplasty adalah
penggantian total sendi. Penggantian sendi total pinggul adalah prosedur
operasi dengan mana tulang rawan (cartilage) dan tulang yang berpenyakit
(rusak) dari sendi pinggul secara operasi diganti dengan materi-materi buatan.
Sendi pinggul yang normal adalah sendi bola dan socket (rongga). Socket
(rongga) adalah tulang pelvis yang "berbentuk mangkok" yang disebut
acetabulum. Bola adalah kepala dari tulang paha (femur). Penggantian total
sendi pinggul melibatkan pengeluaran dari bola dan socket yang berpenyakit
(rusak) secara operasi dan menggantikan mereka dengan bola dan batang metal
yang dimasukan kedalam tulang femur dan socket mangkok plastik buatan. Bola dan
batang metal buatan dirujuk sebagai "prosthesis". Setelah pemasukan
prosthesis kedalam pusat inti dari femur, ia dipastikan dengan semen tulang
yang disebut methylmethacrylate. Secara alternatif, prosthesis "tanpa
semen" digunakan yang mempunyai pori-pori microscopik yang mengizinkan
pertumbuhan tulang kedalam dari femur yang normalkedalam batang prosthesis.
Pinggul "tanpa semen" ini dirasakan mempunyai durasi yang lebih
panjang dan terutama dipertimbangkan untuk pasien-pasien yang lebih muda.
2.2.2
Etiologi
1. Arthritis
degeneratif (osteoarthritis) terjadi pada sesorang yang berumur 50 tahun dan
yang berumur tua.
2. (bantalan
tulang pinggul) menipis. Tulang kemudian bergesekan sehinggaterjadi nyeri dan
kekakuan
3. patah-patah
tulang dari sendi pinggul
4. Rheumatoid
arthritis. Penyakit autoimun dimana membrane synovial menjadi meradang, menghasilkan
cairan synovial terlalu sedikit dan kerusakan tulang rawan artikular yang
menyebabkan rasa sakit dan kekakuan
5. Kematian
(aseptic necrosis) dari tulang pinggul
6. Deformitas
kongenital
7. Necrosis
tulang pinggul dapat disebabkan oleh patah tulang dari pinggul
8. Obat-obat
(seperti alkohol atau prednisone dan prednisolone)
9. Penyakit-penyakit
(seperti systemic lupus erythematosus)
10. Kondisi-kondisi
(seperti transplantasi ginjal)
2.2.3
Manifestasi
Klinis
1. Nyeri
kronis hebat
2. Kekakuan
panggul
3. Sendi
panggul sudah aus dan robek
2.2.4
Komplikasi
1. Dislokasi
protestesis panggul
2. Drainase
Luka
3. Trombosis
vena Profunda
4. Infeksi
5. Longgarnya
prostesi
6. Osifikasi
heterotrofik ( pembentukan rongga pada rongga prostese )
7. Nekrosis
avaskuler (kematian tulang akibat hilangnya asupan darah)
2.3 Asuhan Keperawatan pada pasien dengan CF
Collum Femur
2.3.1 Pengkajian
1. Anamnesa
a.
Data biografi :
nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, alamat, suku bangsa,
status perkawinan, sumber biaya, sumber informasi.
b.
Riwayat
kesehatan masa lalu: Riwayat kecelakaan, Dirawat dirumah sakit, Obat-obatan
yang pernah diminum
c.
Riwayat
kesehatan sekarang: Alasan masuk rumah sakit, Keluhan utama, Kronologis keluhan
d.
Riwayat
kesehatan keluarga: penyakit keturunan
e.
Riwayat
psikososial: Orang terdekat dengan klien, Interaksi dalam keluarga, Dampak
penyakit terhadap keluarga, Masalah yang mempengaruhi klien, Mekanisme koping
terhadap penyakitnya, Persepsi klien terhadap penyakitnya, Sistem nilai
kepercayaan :
f. Pola kebersihan sehari- hari sebelum sakit dan selama sakit: Pola nutrisi,
Pola eliminasi, Pola Personal Hygiene, Pola Istirahat dan Tidur, Pola aktifitas
dan latihan, Pola kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan.
2. Dasar Data Pengkajian Pasien
a.
Aktifitas
Keterbatasan/
kehilangan pada fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu
sendiri atau terjadi secara sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri).
b.
Sirkulasi
1)
Hipertensi
(kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri atau ansietas) atau
hipotensi (kehilangan darah)
2)
Takikardia
(respon stress, hipovolemia)
3)
Penurunan/
tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera; pengisian kapiler lambat, pusat
pada bagian yang terkena.
4)
Pembengkakan
jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera.
c.
Neurosensori
1)
Hilang gerakan/
sensasi, spasme otot
2)
Kebas/
kesemutan (parestesia)
3)
Deformitas
lokal: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi berderit )
Spasme otot, terlihat kelemahan/ hilang fungsi.
4)
Agitasi
(mungkin badan nyeri/ ansietas atau trauma lain)
d.
Nyeri/
kenyamanan
1)
Nyeri berat
tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan /
kerusakan tulang pada imobilisasi), tak ada nyeri akibat kerusakan saraf
2)
Spasme/ kram
otot
e.
Keamanan
1)
Laserasi kulit,
avulsi jaringan, pendarahan, perubahan warna
2)
Pembengkakan
lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).
f.
Penyuluh/
pembelajaran
Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
1)
Pemeriksaan
rontgen: Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2)
Scan tulang,
tomogram, CT-scan / MRI: Memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak
3)
Pemeriksaan
darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel). Peningkatan
sel darah putih adalah respon stres normal setelah trauma.
4)
Kreatinin:
Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
2.3.2 Diagnosa keperawatan
a.
Resiko tinggi
terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang (fraktur)
b.
Nyeri (akut)
berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada
jaringan lunak, alat traksi/ immobilisasi
c.
Resiko tinggi
terhadap infeksi berhubungan dengan tak ada kuatnya pertahanan primer:
kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkugan, prosedur invasif,
traksi tulang
2.3.3 Intervensi dan evaluasi keperawatan
Dx. 1 Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan integritas
tulang (fraktur)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam trauma dapat
berkurang atau tidak terjadi
Kriteria hasil : mempertahankan stabilitas dan posisi fraktur
Intervensi:
Mandiri
a. Pertahankan tirah baring/
ekstremitas sesuai indikasi
R/ meningkatkan stabilitas,
menurunkan kemungkinan gangguan posisi/ penyembuhan
b. Sokong fraktur dengan
bantal/ gulungan selimut
R/ mencegah gerakan yang tak perlu dan perubahan posisi
c. Pertahankan posisi/
integritas traksi
R/ traksi memungkinkan tarikan pada aksis panjang fraktur tulang
Kolaborasi
Kaji ulang foto/ evaluasi
R/ memberikan bukti visual
mulainya pembentukan kalus/ proses penyembuhan untuk menentukan tingkat
aktivitas
Evaluasi : Trauma tidak terjadi
Dx 2 Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema
dan cedera pada jaringan lunak, alat traksi/ immobilisasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam nyeri dapat berkurang atau terkontrol.
Kriteria
hasil :
a. Nyeri
berkurang atau hilang
b. Skala
nyeri 1
c. Klien
menunjukkan sikap santai
d. Klien dapat mendemonstrasikan tehnik relaksasi napas dalam
e. TD : 120
/90 mmHg
f. N : 60-80
x/mnt
g. S : 36-37
oC
h. P : 16-20
x/mnt
Intervensi :
Mandiri
a. Observasi tanda-tanda vital
setiap 8 jam
R/ Peningkatan nadi menunjukan adanya nyeri
b. Evaluasi skala nyeri,
karakteristik dan lokasi
R/ Mempengaruhi pilihan keefektifan intervensi
c. Atur posisi kaki yang sakit
(abduksi) dengan bantal
R/ Meningkatkan sirkulasi yang
umum, menurunkan area tekanan lokal dan kelelahan otot
d. Ajarkan dan dorong tehnik
relaksasi napas dalam
R/ Dengan tehnik relaksasi dapat mengurangi nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi berikan obat sesuai program
R/ Diberikan untuk menurunkan nyeri dan / spasme otot
Evaluasi : Klien menunjukkan nyerinya
hilang/ berkurang
Dx. 3 Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tak ada kuatnya pertahanan
primer: kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkugan, prosedur
invasif, traksi tulang
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 x 24 jam resiko infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil :
a. Balutan
luka bersih
b. Tidak ada
rembesan
c. Tidak ada pembengkakan pada pemasangan infus
d. Warna
urine kuning jernih
e. Leukosit dalam batas normal (5000-10.000 ul)
f. TD :
110/70- 130/90 mmhg
g. N : 60-80
x/mnt
h. S : 36-37
oC
i. RR :
16-20 x/mnt
Intervensi :
Mandiri
a. Ukur tanda-tanda vital setiap 8 jam.
R/ Dapat mengetahui peningkatan suhu secara dini merupakan indikasi adanya
infeksi.
b. Observasi sekitar luka terhadap tanda-tanda infeksi
R/ Mengidentifikasi timbulnya infeksi
c. Lakukan perawatan luka setiap 1 hari sekali
R/ Dapat mencegah kontaminasi
silang dan menghindari dampak infeksi yang lebih dalam
d.Lakukan perawatan kateter setiap hari
R/ Mencegah mikroorganisme masuk kea alat invasife
e.Ganti kateter setiap 1 minggu sekali
R/ Mencegah terjadinya infeksi
Kolaborasi
Kolaborasi terhadap pemeriksaan
laboratorium (leukosit, led)
R/ Lekositosis menandakan proses terjadinya
infeksi
Evaluasi : Infeksi tidak terjadi
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan,
Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis
Company.
Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical
Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar