Minggu, 07 September 2014

Tinjauan teori Kebiasaan Menahan buang air kencing dengan infeksi saluran kemih (ISK)

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

        Dalam bab ini akan dibahas landasan teori dalam penelitian yaitu meliputi  sebagai berikut:  1) Konsep Kebiasaan, 2) Konsep Buang Air Kecil, 3) Konsep Infeksi  saluran kemih.
2.1 Konsep Kebiasaan
2.1.1 Pengertian
        Definisi  kebiasaan  menurut  artikel  boediekoest ;  2008  adalah  titik  temu  dari  pengetahuan,  keterampilan,  dan  keinginan..  Sesuatu yang biasa dikerjakan, pola untuk melakukan tanggapan terhadap situasi tertentu yang dipelajari oleh individu dan yang dilakukannya secara berulang- ulang untuk hal yang sama.
       Kebiasaan adalah adat yang dilakukan sehari-hari, sesuatu yang bisa dikerjakan (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 2003: 132). Dan menurut Kartono K (1996) yang dikutip oleh Sunaryo (2004: 118) kebiasaan adalah bentuk tingkah laku yang tetap dari usaha menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang mengandung unsur afektif perasaan. Sedangkan menurut Charlene Pedrick dan Dr. James Caliborn, Ph.D dalam the Habit Change Workbook, How To Break Bad Habits and Form Good Ones (New Harbringer Publication, November 2001, Copyright 2001) yang dikutip dari Nur Farida (2009: 166 ) bahwa yang dimaksud dengan kebiasaan adalah aktivitas yang sering dilakukan, dilakukan secara otomatis, kadang tanpa disadari dan susah dihentikan.
       

 


2.2 Konsep Buang  Air  Kecil
2.2.1 Pengertian
        Sistem  tubuh  yang  berperan  dalam  eliminasi  urine  adalah  ginjal,  kandung  kemih  dan  uretra ( Nursalam,2008; 80).
         Definisinya  adalah  Peristiwa  pembuangan  urine,  keinginan  berkemih  disebabkan  oleh  penambahan  tekanan  dalam  kandung  kemih  dan  isi  urine  didalamnya.  Rasa  ingin  berkemih   jika   kandung  kemih  jumlah  urine  nya  170 – 230  ml ( Nursalam, 2008; 6 ).
2.2.2 Proses Berkemih
        Berkemih ( mictio, mycturition, voiding, urination )  adalah  proses  pengosongan  vesika  urinaria ( kandung  kemih).  Proses  ini  dimulai  dengan  terkumpulnya  urine  dalam  kandung  kemih  yang  merangsang  saraf – saraf  sensorik  dalam  dinding  kandung  kemih ( bagian reseptor ).  Rasa  ingin  berkemih bila  kandung  kemih  berisi  kurang  lebih  250 – 450  cc  orang  dewasa dan  200 – 250 cc pada  anak- anak.  ( alimul, 2003 )
2.2.3 Komposisi Urine
1. Air ( 96% )
2. Larutan ( 4% )
   1). Larutan organik : Urea, Ammonia, Kreatin dan Uric acid
   2). Larutan anorganik : Natrium (sodium), Klorida, Kalium (potasium), Sulfat, Magnesium dan fosfor.

2.2.4 Masalah  Kebutuhan Eliminasi Urine
1.Retensi Urine
   Merupakan  penumpukan  urine  dalam  kandung  kemih  akibat  ketidakmampuan  kandung  kemih  untuk  mengosongkan  isinya,  sehingga  menyebabkan  distensi  dari  vesika  urinaria.
   Tanda – tanda  klinis  pada  retensi:
   1) Ketidaknyamanan daerah pubis.
   2) Distensi vesika urinaria.
   3) Ketidaksanggupan  untuk berkemih.
   4) Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urine (25-50 ml).
   5) Meningkatnya keresahan dan keinginan berkemih.
2.Inkontinensia Urine
   Ketidakmampuan  otot  sfingter  eksternal  sementara  atau  menetap  untuk  mengontrol  ekskresi  urine.  Secara  umum,  penyebab  dari  inkonensia; proses  penuaan,  pembesaran  kelenjar  prostat,  penurunan  kesadaran  dan  penggunaan  obat  narkotik  atau  sedatif.
   Inkotinensia  Urine terdiri  atas:
   1) Inkontinensia Dorongan
       Merupakan keadaan  dimana  seseorang  mengalami  pengeluaran  urine  tanpa  sadar,  terjadi  segera  setelah  merasa  dorongan  yang  untuk  berkemih.
   2) Inkontinensia Total
       Merupakan  keadaan  dimana  seseorang  mengalami  pengeluaran  urine  yang  terus  menerus  dan  tidak  dapat  diperkirakan.

   3) Inkontinensia Stres
       Merupakan  keadaan  seseorang  yang  mengalami  kehilangan  urine  kurang  dari  50 ml,  terjadi  dengan  peningkatan  tekanan  abdomen.
    4) Inkontinensia Refleks
       Merupakan  keadaan  dimana  seseorang  mengalami  pengeluaran  urine  yang  tidak  dirasakan,  terjadi  pada  interval  yang  dapat  diperkirakan  bila  volume  kandung  kemih  mencapai  jumlah  tertentu.
3.Enuresis
Merupakan  ketidaksanggupan  menahan  kemih  ( mengompol )  yang  diakibatkan  tidak  mampu  mengontrol  sfingter  eksterna.Enuresis  biasanya  terjadi  pada  anak  atau orang  jompo,  umumnya  pada  malam  hari.
4.Uretrotomi
   Merupakan  tindakan  operasi  dengan  jalan  membuat  stoma  pada  dinding    perut  untuk  drainase  urine.  Operasi  ini  dilakukan  karena  adanya  penyakit  atau  disfungsi  pada  kandung  kemih ( vesika urinaria ).

2.3 Konsep Infeksi Saluran Kemih
2.3.1 Pengertian
        Infeksi  Saluran  Kemih  adalah  ditemukannya  pada  urine  di  kandung  kemih,   yang  umumnya  steril  ( mansjoer ,2001; 523).
        Infeksi  Saluran Kemih ( ISK ) disebabkan  oleh  adanya  mikro  organisme  patogenik  dalam  traktus  urinarius,   dengan  atau  tanpa  gejala  ( Brunner & Suddarth, 2001 ).
         Air  kencing  yang  dihasilkan  penderita  infeksi  saluran  kemih  ada  yang  berwarna  coklat,  kemerahan,  dan  bahkan  berwarna  putih.  Selain  pada  daerah  bawah  perut  diatas  kemaluan,  rasa  sakit  juga  dapat  dirasakan  pada  daerah  pinggang  dan  punggung,  dan  juga  dapat  menimbulkan  perasaan  mual  dan  muntah (www.kesehatan/ISK2010.com).
Menurut Enday  Sukandar ( 2006 ;553 )   infeksi  saluran  kemih  dibedakan     menjadi 2  yaitu:
1.      Infeksi  saluran  kemih (ISK) atas (seperti pielonefritis akut & pielonefritis kronis )
2.       Infeksi  saluran  kemih ( ISK )  bawah.
1).  perempuan (seperti   sistitis & sindrom  uretra  akut )
2).  laki – laki ( sistitis,  prostatitis, epidimidis, uretritis )
2.3.2 Faktor – faktor  yang  mempengaruhi:
1.Usia
    Pada orang usia lanjut, frekuensi ISK memiliki proporsi hampir sama pada wanita dan laki-laki. Hal ini disebabkan karena terjadi perbesaran prostat pada pria yang lebih tua. Pembesaran prostat terjadi pada hampir semua pria yang semakin menua. Ini dapat  menekan uretra dan menyebabkan masalah buang air kecil dan kandung kemih. Kelenjar pada prostat yang membesar dapat  menghalangi uretra, sehingga menyebabkan kesulitan dalam berkemih pun meningkat. Kesulitan ini menyebabkan kurangnya terjadi pembilasan uretra yang pada gilirannya menyebabkan  kolonisasi e. coli di kandung kemih. (www.wikipedia2010.com)

2.Gender
   Wanita lebih sering menderita infeksi saluran kemih dikarenakan memiliki uretra yang  pendek, masuknya  kuman dalam  hubungan  seksual, dan perubahan pH dan flora vulva dalam siklus menstruasi. Pada pria biasanya akibat batu dan penyakit prostat,adapun pada pria karena akibat dari menyebarnya infeksi yang berasal dari uretra ,seperti juga pada wanita. Namun demikian,  panjang uretra dan jauhnya jarak uretra dari rektum pada pria, dan adanya bakterisidal dalam cairan prostaltik, melindungi pria dari ISK. Akibat ISK pada pria jarang terjadi. sedangkan pada anak- anak karena kelainan kongenital.
3.Prevalensi  bakteriuria
   Bakteriuria mengacu pada adanya bakteri dalam urine, infeksi pada setiap bagian traktus urinarius dapat terjadi selama beberapa bulan atau bahkan tahun tanpa gejala.
2.3.3 Faktor – faktor predisposisi  yang mempengaruhi terjadinya ISK
2.3.3.1 Bendungan  Aliran  Urine  (  Agus, 2001; 370 )
        Ginjal  normal  biasanya  mempunyai  daya  tahan  terhadap  infeksi  E.coli  karena  itu  jarang  infeksi  hematogen  E.coli.  Ada  beberapa  tindakan  yang  mempengaruhi  struktur  dan  fungsi  ginjal  yang  dapat  meningkatkan  kepekaan  ginjal  sehingga mempermudah  penyebaran  hematogen.
2.3.3.2 Refluk Vesiko Ureter ( Agus, 2001; 372)
        Naiknya  bakteri  dari  kandung  kemih  ke ginjal.  Hal  ini  disebabkan  oleh  refluks  vesiko ureter  dan  menyebarnya  infeksi  dari  pelvis  ke korteks  intra renal.  Refluks  vesiko  ureter  adalah keadaan  patologis  karena  tidak  berfungsinya  valvula  vesiko ureter  sehingga  aliran  urine  naik  dari  kandung  kemih  ke ginjal.
2.3.3.3 Urine Sisa Dalam Buli – Buli ( Petter & Perry, 2005; 1687)
        Urine  yang  tersisa  dalam  kandung  kemih  menjadi  lebih  basa  sehingga  kandung  kemih  merupakan  tempat  yang  ideal   untuk  pertumbuhan  organisme.
2.3.4 Etiologi
         Biasanya  bakteri  enteric,  terutama  Escherica  coli  pada  wanita.  Gejala  bervariasi  tergantung  dari  variasi  jenis  bakteri  tersebut.  Pada  pria  dan  pasien  di  rumah  sakit, 30 – 40% disebabkan  proteus,  stafilokok,  dan  bahkan  pseudomonas.  Bila  ditemukan,  kemungkinan  besar  terdapat  kelainan  saluran  kemih.  Namun  harus  diperhitungkan  kemungkinan  kontaminasi  jika  ditemukan  lebih  dari  satu  mikroorganisme ( Mansjoer, 2001; 523).
2.3.5 Patofisiologi
        Sebagian  besar  merupakan  infeksi  asenden.  Pada  wanita,  jalur  yang  biasa  terjadi  adalah  mula – mula  kuman  dari  anal  berkoloni  di vulva,  kemudian  masuk  ke kandung  kemih  melalui  uretra  yang  pendek  secara  spontan  atau  mekanik  akibat  hubungan  seksual.  Pada  pria,  setelah  prostat  terkoloni  maka  akan  terjadi  infeksi  asenden.  Mungkin  juga  terjadi  akibat  pemasangan  alat,  seperti  kateter,  terutama  pada  usia  lanjut.
        Wanita  lebih  sering  menderita  Infeksi Saluran Kemih ( ISK ) karena  uretra  yang  pendek,  masuknya  kuman  dalam  hubungan  seksual,  dan  mungkin  karena  perubahan pH  dan  flora  vulva  dalam  siklus  menstruasi.  Pada  beberapa  wanita,  frekuensi  berkemih  yang  jarang  juga  memiliki  peran.
        Seharusnya  bakteri  yang  masuk  dibersihkan  oleh  mekanisme  pertahanan  tubuh,  namun  terdapat  kelainan  anatomi  yang  sering  dijumpai  adalah  nefropati refluks,  nefropati analgesik,  batu,  dan  kehamilan.  Pada  pria  biasanya  akibat  batu  dan  penyakit  prostat,  sedangkan  pada  anak – anak  karena  kelainan  kongenital  ( Mansjoer,2001;523 ).
2.3.6 Gejala  klinis  ISK ( Agus, 2001)
         Gejala  klinis  Infeksi  Saluran  Kemih ( ISK )  tidak  khas  dan  bahkan  pada  sebagian  pasien  tanpa  gejala.  Gejala  yang  sering  ditemukan  ialah,  disuria,  polaksuria,  dan  terdesak  kencing  yang  biasanya  terjadi  bersamaan  nyeri  dan  daerah  pelvis.  Polaksuria  terjadi  akibat  kandung  kemih  tidak  dapat  menampung  urine  lebih  dari  500ml  karena  mukosa  yang  meradang  sehingga  sering  kencing.  Stranguria  yaitu  kencing  yang  susah  dan  disertai  kejang  otot  pinggang  yang  sering  ditemukan  pada  sistitis  akut.  Tenesmus  adalah  rasa  nyeri  dengan  keinginan  mengosongkan  kandung  kemih  meskipun  telah  kosong.  Nokturia  adalah  cenderung  sering  kencing  pada  malam  hari  akibat  kapasitas  kandung  kemih  menurun.  Sering  juga  kita  temukan  enuresis  noktumal sekunder  yaitu  ngompol  pada  orang  dewasa,  prostatismus  yaitu  kesulitan  memulai  kencing  dan  kurang  deras  arus  kencing.
    Gejala  klinis  ISK  sesuai  dengan  bagian  saluran  kemih  yang  terinfeksi  adalah  sebagai berikut:
1. Pada  ISK  bagian  bawah,  keluhan  pasien  biasanya  berupa  sakit  atau  rasa  panas  di uretra  sewaktu  kencing  dengan  air  kemih  sedikit – sedikit  serta  rasa  tidak  enak  di daerah  suprapubik.

2. Pada  ISK  bagian  atas  dapat  ditemukan  gejala  sakit  kepala,  malaise,  mual,  demam,  menggigil,  rasa  tidak  enak,  atau  nyeri.
        Kebiasaan  suka  menahan  kencing  juga  bisa berpotensi  menyebabkan  ISK  karena kebiasaan  ini memungkinkan  kuman  masuk  ke dalam  saluran  kencing.  Tidak kencing sebelum  melakukan  hubungan  seksual  atau  memiliki riwayat  penyakit  kencing  dapat  juga  menjadi  penyebab  ISK (http://ceri.ws.com).
        Buang air  kecil  itu  akan  membersihkan  kandung  kemih  dari  bakteri  yang  berkembang  biak  di urine,  kalau  mempunyai  kebiasaan  menahan  buang  air  kecil,  bakteri  di kandung  kemih  tersebut  akan  semakin  subur  berkembang biak,  besar  kemungkinan  akan  terjadi  infeksi  saluran  kemih.
         Urine  adalah cairan  sisa  yang  diekskresikan  ginjal.  Cairan  berupa  bahan  terlarut  sisa metabolisme  seperti  urea,  garam  terlarut,  dan  materi  organik,  ini  akan dikeluarkan  tubuh  melalui  proses  saluran   kemih.   Menahannya  keluar  akan  membuat  'sampah'  terlarut  itu  mengendap  dan  mengganggu  fungsi kandung  kemih dan  ginjal  (http://VIVAnews.com.tgl.10-11-2010



















Tinjauan teori Fraktur collum femur



BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1       Konsep Fraktur Collum Femur
2.1.1    Pengertian
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Syamsuhidayat. 2004: 840).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (Brunner & Suddarth. 2001 : 2357).
Fraktur collum femur adalah fraktur yang terjadi pada collum tulang femur.

2.1.2    Penyebab
1.      Trauma langsung: benturan pada tulang mengakibatkan fraktur ditempat tersebut.
2.      Trauma tidak langsung: tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari area benturan.
3.      Fraktur patologis: fraktur yang disebabkan trauma yamg minimal atau tanpa trauma. Contoh fraktur patologis: Osteoporosis, penyakit metabolik, infeksi tulang dan tumor tulang.

2.1.3    Lokasi Terjadinya Fraktur Femur
Fraktur femur dapat terjadi pada beberapa tempat diantaranya:
1.      Kolum femoris
2.      Trokhanter
3.      Batang femur
4.      Suprakondiler
5.      Kondiler
6.      Kaput



2.1.4    Manifestasi Klinis
1.      Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai tulang dimobilisasi.
2.      Deformitas disebabkan karena pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai.
3.      Pemendekan tulang terjadi karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.
4.      Krepus, teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
5.      Pembengkakan lokal dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan gangguan sirkulasi yang mengikuti fraktur.

2.1.5    Klasifikasi Fraktur
1.      Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran. (bergeser dari posisi normal).
2.      Fraktur tidak komplit adalah patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.
3.      Fraktur tertutup tidak menyebabkan robeknya kulit.
4.      Fraktur terbuka merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membrana mukosa sampai kepatahan tulang, fraktur terbuka digradasi menjadi:
a.       Grade 1 dengan luka bersih panjangnya kurang dari 1 cm
b.      Grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif
c.       Grade III luka yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif, merupakan yang paling berat
5.      Fraktur juga digolongkan sesuai pergeseran anatomis fragmen tulang:
a.       Greenstick: fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok
b.      Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang
c.       Obllik: fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih tidak stabil dibanding transversal)
d.      Spiral: fraktur memuntir sepanjang batang tulang
e.       Komunitif: fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
f.       Depresi: fraktur dengan pragmen patahan terdorong kedalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah)
g.      Kompresi: fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
h.      Patologik: fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, penyakit paget, metastasis tulang, tumor)
i.        Avulsi: tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo pada perlakatannya
j.        Epifiseal: fraktur melalui epifisis
k.      Impaksi: fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang yang lainnya.

2.1.6    Proses Penyembuhan tulang
1.      Fase hematoma: Proses terjadinya hematoma dalam 24 jam. Apabila terjadi fraktur pada tulang panunjang, maka pembuluh darah kecil yang melewati kanalikuli dalam sistem haversian mengalami robekan pada daerah luka dan akan membentuk hematoma diantar kedua sisi fraktur.
2.      Fase proliferasi/ fibrosa: terjadi dalam waktu sekitar 5 hari. pada saat ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi penyembuhan, karena adanya sel-sel osteogenik yang berpoliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksternal serta pada daerah endosteum membentuk kalus internal sebagai aktifitas seluler dalam kanalis medularis.
3.      Fase Pembentukkan Kalus: Waktu pembentukan kalus 3-4 minggu. Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel dasar yang berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk tulang rawan.
4.      Fase Osifikasi: Pembentukan halus mulai mengalami perulangan dalam 2-3 minggu, patah tulang melalui proses penulangan endokondrol, mineral terus-menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah bersatu dengan keras.
5.      Fase Remodeling: Waktu pembentukan 4-6 bulan. Pada fase ini perlahan-lahan terjadi reabsorbsi secara eosteoklastik dan tetap terjadi prosesosteoblastik pada tulang dan kalus eksternal secara perlahan-lahan menghilang (Rasjad, 1998 : 400 ).

2.1.7   Patofisiologi

(Sumber : Long, C. Barbara. 1996. Perawatan Medikal Bedah)





























2.1.8    Komplikasi
1.      Komplikasi awal
a.       Syok: Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan darah eksterna maupun yang tidak kelihatan) dan kehilangan cairan eksternal kejaringan yang rusak.
b.      Sindrom emboli lemak: Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang dilepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah.
c.       Sindrom kompartemen: merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gips atau balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (misal : iskemi, cidera remuk).
2.      Komplikasi lambat
a.       Delayed union: proses penyembuhan tulang yang berjalan dalam waktu yang lebih lama dari perkiraan (tidak sembuh setelah 3-5 bulan)
b.      Non union: kegagalan penyambungan tulang setelah 6-9 bulan.
c.       Mal union: proses penyembuhan tulang berjalan normal terjadi dalam waktu semestinya, namun tidak dengan bentuk aslinya atau abnormal.

2.1.9    Faktor yang mempercepat penyembuhan tulang
1.      Immobilisasi fragmen tulang
2.      Kontak fragmen tulang maksimal
3.      Asupan darah yang memadai
4.      Nutrisi yang baik
5.      Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang
6.      Hormon-hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D,
7.      Potensial listrik pada patahan tulang

2.1.10  Faktor yang menghambat penyembuhan tulang
1.      Trauma berulang
2.      Kehilangan massa tulang
3.      Immobilisasi yang tak memadai
4.      Rongga atau jaringan diantar fragmen tulang
5.      Infeksi
6.      Radiasi tulang (nekrosis tulang)
7.      Usia
8.      Kortikosteroid (menghambat kecepatan perbaikan)

2.1.11  Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
1.      Pemeriksaan rontgen: Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2.      Scan tulang, tomogram, CT-scan/ MRI: Memperlihatkan frakur dan mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak
3.      Pemeriksaan darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (pendarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel), Peningkatan Sel darah putih adalah respon stres normal setelah trauma.
4.      Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.

2.1.12  Penatalaksanaan medik
Empat prinsip penanganan fraktur menurut Chaeruddin Rasjad tahun 1988adalah:
1.      Recognition: mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinik dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan: lokasi, bentuk fraktur, menentukan teknnik yang sesuai untuk pengobatan, komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.
2.      Reduction: reduksi fraktur apabila perlu, restorasi fragment fraktur sehingga didapat posisi yang dapat diterima. Pada fraktur intraartikuler diperlukan reduksi anatomis dan sedapat mungkin mengembalikan fungsi normal dan mencegah komplikasi seperti kekakuan, deformitas serta perubahan osteoartritis dikemudian hari. Posisi yang baik adalah: alignment yang sempurna dan aposisi yang sempurna. Fraktur yang tidak memerlukan reduksi seperti fraktur klavikula, iga, fraktur impaksi dari humerus, angulasi <5>
3.      Retention, immobilisasi fraktur: mempertahankan posisi reduksi dan memfasilitasi union sehingga terjadi penyatuan, immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna meliputi pembalut gips, bidai, traksi, dan fiksasi interna meliputi inplan logam seperti screw.
4.      Rehabilitation : mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin.

2.2              Konsep Bipolar Hemiarthroplasty
2.2.1        Definisi
Bipolar Hemiarthroplasty adalah penggantian total sendi. Penggantian sendi total pinggul adalah prosedur operasi dengan mana tulang rawan (cartilage) dan tulang yang berpenyakit (rusak) dari sendi pinggul secara operasi diganti dengan materi-materi buatan. Sendi pinggul yang normal adalah sendi bola dan socket (rongga). Socket (rongga) adalah tulang pelvis yang "berbentuk mangkok" yang disebut acetabulum. Bola adalah kepala dari tulang paha (femur). Penggantian total sendi pinggul melibatkan pengeluaran dari bola dan socket yang berpenyakit (rusak) secara operasi dan menggantikan mereka dengan bola dan batang metal yang dimasukan kedalam tulang femur dan socket mangkok plastik buatan. Bola dan batang metal buatan dirujuk sebagai "prosthesis". Setelah pemasukan prosthesis kedalam pusat inti dari femur, ia dipastikan dengan semen tulang yang disebut methylmethacrylate. Secara alternatif, prosthesis "tanpa semen" digunakan yang mempunyai pori-pori microscopik yang mengizinkan pertumbuhan tulang kedalam dari femur yang normalkedalam batang prosthesis. Pinggul "tanpa semen" ini dirasakan mempunyai durasi yang lebih panjang dan terutama dipertimbangkan untuk pasien-pasien yang lebih muda.

2.2.2        Etiologi
1.      Arthritis degeneratif (osteoarthritis) terjadi pada sesorang yang berumur 50 tahun dan yang berumur tua.
2.      (bantalan tulang pinggul) menipis. Tulang kemudian bergesekan sehinggaterjadi nyeri dan kekakuan
3.      patah-patah tulang dari sendi pinggul
4.      Rheumatoid arthritis. Penyakit autoimun dimana membrane synovial menjadi meradang, menghasilkan cairan synovial terlalu sedikit dan kerusakan tulang rawan artikular yang menyebabkan rasa sakit dan kekakuan
5.      Kematian (aseptic necrosis) dari tulang pinggul
6.      Deformitas kongenital
7.      Necrosis tulang pinggul dapat disebabkan oleh patah tulang dari pinggul
8.      Obat-obat (seperti alkohol atau prednisone dan prednisolone)
9.      Penyakit-penyakit (seperti systemic lupus erythematosus)
10.  Kondisi-kondisi (seperti transplantasi ginjal)

2.2.3        Manifestasi Klinis
1.      Nyeri kronis hebat
2.      Kekakuan panggul
3.      Sendi panggul sudah aus dan robek

2.2.4        Komplikasi
1.      Dislokasi protestesis panggul
2.      Drainase Luka
3.      Trombosis vena Profunda
4.      Infeksi
5.      Longgarnya prostesi
6.      Osifikasi heterotrofik ( pembentukan rongga pada rongga prostese )
7.      Nekrosis avaskuler (kematian tulang akibat hilangnya asupan darah)

2.3       Asuhan Keperawatan pada pasien dengan CF Collum Femur
2.3.1    Pengkajian
1.      Anamnesa
a.       Data biografi : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, alamat, suku bangsa, status perkawinan, sumber biaya, sumber informasi.
b.      Riwayat kesehatan masa lalu: Riwayat kecelakaan, Dirawat dirumah sakit, Obat-obatan yang pernah diminum
c.       Riwayat kesehatan sekarang: Alasan masuk rumah sakit, Keluhan utama, Kronologis keluhan
d.      Riwayat kesehatan keluarga: penyakit keturunan
e.       Riwayat psikososial: Orang terdekat dengan klien, Interaksi dalam keluarga, Dampak penyakit terhadap keluarga, Masalah yang mempengaruhi klien, Mekanisme koping terhadap penyakitnya, Persepsi klien terhadap penyakitnya, Sistem nilai kepercayaan :
f.       Pola kebersihan sehari- hari sebelum sakit dan selama sakit: Pola nutrisi, Pola eliminasi, Pola Personal Hygiene, Pola Istirahat dan Tidur, Pola aktifitas dan latihan, Pola kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan.

2.      Dasar Data Pengkajian Pasien
a.       Aktifitas
Keterbatasan/ kehilangan pada fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri).
b.      Sirkulasi
1)      Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri atau ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)
2)      Takikardia (respon stress, hipovolemia)
3)      Penurunan/ tidak ada nadi pada bagian distal yang cedera; pengisian kapiler lambat, pusat pada bagian yang terkena.
4)      Pembengkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera.
c.       Neurosensori
1)      Hilang gerakan/ sensasi, spasme otot
2)      Kebas/ kesemutan (parestesia)
3)      Deformitas lokal: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi berderit ) Spasme otot, terlihat kelemahan/ hilang fungsi.
4)      Agitasi (mungkin badan nyeri/ ansietas atau trauma lain)



d.      Nyeri/ kenyamanan
1)      Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan / kerusakan tulang pada imobilisasi), tak ada nyeri akibat kerusakan saraf
2)      Spasme/ kram otot
e.       Keamanan
1)      Laserasi kulit, avulsi jaringan, pendarahan, perubahan warna
2)      Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).
f.       Penyuluh/ pembelajaran
Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
1)      Pemeriksaan rontgen: Untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2)      Scan tulang, tomogram, CT-scan / MRI: Memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3)      Pemeriksaan darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel). Peningkatan sel darah putih adalah respon stres normal setelah trauma.
4)      Kreatinin: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.

2.3.2    Diagnosa keperawatan
a.       Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang (fraktur)
b.      Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan lunak, alat traksi/ immobilisasi
c.       Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tak ada kuatnya pertahanan primer: kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkugan, prosedur invasif, traksi tulang


2.3.3    Intervensi dan evaluasi keperawatan
Dx. 1 Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan integritas tulang (fraktur)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam trauma dapat berkurang atau tidak terjadi
Kriteria hasil : mempertahankan stabilitas dan posisi fraktur
Intervensi:
Mandiri
a. Pertahankan tirah baring/ ekstremitas sesuai indikasi
R/ meningkatkan stabilitas, menurunkan kemungkinan gangguan posisi/ penyembuhan
b. Sokong fraktur dengan bantal/ gulungan selimut
R/ mencegah gerakan yang tak perlu dan perubahan posisi
c. Pertahankan posisi/ integritas traksi
R/ traksi memungkinkan tarikan pada aksis panjang fraktur tulang
Kolaborasi
Kaji ulang foto/ evaluasi
R/ memberikan bukti visual mulainya pembentukan kalus/ proses penyembuhan untuk menentukan tingkat aktivitas
Evaluasi : Trauma tidak terjadi
Dx 2 Nyeri (akut) berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan lunak, alat traksi/ immobilisasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam nyeri dapat berkurang atau terkontrol.
Kriteria hasil :
a. Nyeri berkurang atau hilang
b. Skala nyeri 1
c. Klien menunjukkan sikap santai
d. Klien dapat mendemonstrasikan tehnik relaksasi napas dalam
e. TD : 120 /90 mmHg
f. N : 60-80 x/mnt
g. S : 36-37 oC
h. P : 16-20 x/mnt
Intervensi :
Mandiri
a. Observasi tanda-tanda vital setiap 8 jam
R/ Peningkatan nadi menunjukan adanya nyeri
b. Evaluasi skala nyeri, karakteristik dan lokasi
R/ Mempengaruhi pilihan keefektifan intervensi
c. Atur posisi kaki yang sakit (abduksi) dengan bantal
R/ Meningkatkan sirkulasi yang umum, menurunkan area tekanan lokal dan kelelahan otot
d. Ajarkan dan dorong tehnik relaksasi napas dalam
R/ Dengan tehnik relaksasi dapat mengurangi nyeri

Kolaborasi
Kolaborasi berikan obat sesuai program
R/ Diberikan untuk menurunkan nyeri dan / spasme otot
Evaluasi : Klien menunjukkan nyerinya hilang/ berkurang
Dx. 3 Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tak ada kuatnya pertahanan primer: kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkugan, prosedur invasif, traksi tulang
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam resiko infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil :
a. Balutan luka bersih
b. Tidak ada rembesan
c. Tidak ada pembengkakan pada pemasangan infus
d. Warna urine kuning jernih
e. Leukosit dalam batas normal (5000-10.000 ul)
f. TD : 110/70- 130/90 mmhg
g. N : 60-80 x/mnt
h. S : 36-37 oC
i. RR : 16-20 x/mnt
Intervensi :
Mandiri
a. Ukur tanda-tanda vital setiap 8 jam.
R/ Dapat mengetahui peningkatan suhu secara dini merupakan indikasi adanya infeksi.
b. Observasi sekitar luka terhadap tanda-tanda infeksi
R/ Mengidentifikasi timbulnya infeksi
c. Lakukan perawatan luka setiap 1 hari sekali
R/ Dapat mencegah kontaminasi silang dan menghindari dampak infeksi yang lebih dalam
d.Lakukan perawatan kateter setiap hari
R/ Mencegah mikroorganisme masuk kea alat invasife
e.Ganti kateter setiap 1 minggu sekali
R/ Mencegah terjadinya infeksi
Kolaborasi
Kolaborasi terhadap pemeriksaan laboratorium (leukosit, led)
R/ Lekositosis menandakan proses terjadinya infeksi
Evaluasi : Infeksi tidak terjadi




DAFTAR KEPUSTAKAAN
Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.

Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.